Lumbantoruan
merupakan salah satu marga dari suku Batak, diwarisi oleh semua yang
bermarga Lumbantoruan, baik lelaki maupun wanita dari garis keturunan
Bapak secara turun-temurun. Lumbantoruan yang pertama bergelar BORSAK
SIRUMONGGUR, merupakan anak kedua dari Sihombing yang mempunyai 4 orang
anaklaki-laki dengan urutan sebagai berikut:
- Silaban gelar Borsak Junjungan
- Lumbantoruan gelar Borsak Sirumonggur
- Nababan gelar Borsak Mangatasi
- Hutasoit gelar Borsak Bimbinan.
Marga yang
diwarisi oleh keturunan masing-masing adalah Silaban, Lumbantoruan,
Nababan, dan Hutasoit. Keempat gelar tersebut sering dipakai sebagai
nama perkumpulan marga oleh keturunan yang bersangkutan di perantauan,
atau sebagai nama nenek moyang dari marga yang bersangkutan. Misalnya
marga Lumbantoruan, pomparan (keturunan) dari Borsak Sorumonggur.
Perlu
dicatat bahwa mayoritas orang yang bermarga Lumbantoruan memakai marga
Sihombing, sedangkan yang bermarga Silaban, Nababan, dan Hutasoit hanya
sedikit yang memakaimarga Sihombing.
Mengingat
keturunan dari masing-masing marga telah banyak jumlahnya, maka sejak
puluhan tahun yang lalu telah disepakati oleh keturunan dari empat
bersaudara: Silaban, Lumbantoruan, Nababan, dan Hutasoit untuk boleh
saling mengawini. Artinya,lelaki dari masing-masing marga ini boleh
mengawini perempuan marga lainnya dari kelompok empat marga yang
bersaudara tersebut. Persetujuan nikah tersebut di dalam upacara tastas
bombong.
MENGAPA MARGA ITU PERLU?
Sejak dulu
Orang Batak telah mempunyai marga. Marga memegang peranan dalam adat
istiadat, budaya, pergaulan, dan kehidupan sosial di lingkungan
masyarakat Batak, khususnya dalam rangka melaksanakan falsafah Dalihan
na Tolu. Selama- orang masih mengaku dirinya sebagai Orang Batak ia akan
tetap memerlukan marganya di dalam penyelenggaraan adat istiadat,
budaya, dan tata krama pergaulan di dalam masyarakat, sekalipun ia hidup
di perantauan.
Selain itu,
marga yang diwarisi secara turun temurun itu dapat berfungsi sebagai
family name, yang umumnya pada banyak bangsa di dunia ini diwariskan
kepada keturunannya. J adi, marga itu –umpanya Lumbantoruan– dapat
berfungsi sebagai salah satu identitas.
SEJAK KAPAN MARGA LUMBANTORUAN ITU ADA?
Di dalam
kehidupan sosial dan pergaulan Orang Batak, masing-masing orang yang
semarga perlu mengetahui silsilah dan nomor silsilah masing-masing.
Kenapa silsilah perlu diketahui adalah untuk membedakan teman semarga
yang kita hadapi itu apakah merupakan haha doli (abang) atau anggi doli
(adik). Sedangkan gunanya mengetahui nomor silsilah adalah agar kita
mengetahui apakah teman semarga yang kita hadapi itu termasuk golongan
Bapak, Kakek, Anak, atau Cucu.
Nomor
silsilah nenek moyang kita, Borsak Sorumonggur adalah nomor 1. Nomor
silsilah anaknya adalah nomor 2, sedangkan cucunya adalah nomor 3,
demikian seterusnya. Apabila seorang memiliki silsilah bemomor 15, maka
ia akan menyebut marga Lumbantoruan bemomor silsilah 14 sebagai Bapak
dan yang bemomor silsilah 16 sebagai Anak.
Dengan
memperhatikan nomor silsilah bermarga Lumbantoruan di Jabodetabek, nomor
silsilah generasi Lumbantoruan yang hidup sekarang bervariasi, mulai
dari nomor 14 sampai dengan nomor 19. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa marga Lumbantoruan sudah ada sejak sekita 3 – 4 abad yang silam.
DI MANAKAH TEMPAT BERMUKIM MARGA LUMBANTORUAN?
Semula,
Sihombing bermukim di Pulau Samosir. Mungkin untuk memperoleh ruang
hidup yang lebih baru dan lebih baik ia bersama keempat anaknya:
Silaban, Lumbantoruan,
Nababan, dan
Hutasoit pindah ke Tipang, seberang Danau Toba. Tipang terletak di
pantai, selatan Danau Toba, pada tanah pesisir yang sempit, dikelilingi
perbukitan yang cukup, tinggi di sebelah selatan, tidak jauh dari Bakara
–tempat pemukiman Raja Sisingamangaraja.
Keluarga
Sihombing beserta anak-anaknya cepat berlipat ganda di Tipang, hal yang
membuat lahan persawahan dan pertanian yang terasa kurang. Oleh sebab
itu, sebagian keturunan Sihombing bermigrasi (pindah) ke dataran tinggi,
atau disebut juga Humbang, Semula, keturunan Lumbantoruan mendirikan
kampung dekat Lintongnihuta, namanya, Sipagabu. Dari Sipagabu inilah
secara bertahap keturunan Lumbantoruan berpencar dii daerah Humbang,
yaitu:
- Lintongnihuta dan sekitarnya
- Bahalbatu dan sekitarnya
- Sibaragas dan sekitarnya
- Sipultak dan sekitarnya
- Butar dan sekitarnya.
Di tiga
daerah pertama bermukim keturunan Hutagurgur Lumbantoruan, anak sulung
Lumbantoruan. Di Butar dan sekitarnya bermukim keturunan Toga Hariara
Lumbantoruan, anak kedua (bungsu) dari Lumbantoruan. Di keempat daerah
tersebut marga Lumbantoruan merupakan mayoritas ketimbang marga-mara
yang lain. Selain di empat daerah itu, keturunan Lumbantoruan juga
berbaur dengan Silaban, Nababan, dll
Hutasoit di
luar Humbang, persisnya di sekitar Pahae yang berbatasan dengan Angkola.
Di Tipang sendiri sampai sekarang masih tinggal bermukim sekelompok
Lumbantoruan keturunan Mambirjalang, dalam hal ini Pareme dan
Nasorasabat.
Perlu juga diketahui tempat pemukiman ketiga marga keturunan Sihombing (Silaban, Nababan, dan Hutasoit) di Humbang, yaitu:
- Silaban di Silabanrura, Butar
- Nababan di Nagasaribu, Lumban Tonga-tonga Paniaran, Sipariama, dan Lumban Motung dan sekitarnya.
- Hutasoit di Siborong-borong, Butar, Lintongnihuta, dan sekitarnya.
Untuk
beberapa abad, persawahan dan pertanian di tempat pemukiman Lumbantoruan
masih terasa cukup. Akan tetapi, seiring dengan percepatan pertumbuhan
keturunan Lumbantoruan yang cepat berlipat ganda, persawahan dan
pertanian pun semakin terbatas. Sejak itulah keluarga-keluarga
Lumbantoruan bermigrasi ke tempat lain. Pada masa Perang Kemerdekaan,
perpindahan keluarga-keluarga Lumbantoruan makin meningkat ke daerah
Sumatera Timur. Secara bertahap hingga sekarang keluarga-keluarga
Lumbantoruan (terlebih generasi mudanya) banyak yang pindah ke tempat
lain, tersebar hingga ke kota-kota besar dan pulau-pulau lainnya.
Akibatnya
sekarang, banyak kampung di Humbang, daerah asal Lumbantoruan, mayoritas
penduduknya adalah orang-orang yang sudah tua. Banyak para pemuda
meninggalkan kampung halamannya untuk sekolah atau untuk memperoleh
hidup yang lebih baik. Di Jakarta, mereka mempunyai Parsadaan
(perkumpulan) yang diberi nama Parsadaan Borsak Sirumonggur Sihombing
Lumbantoruan Dohot Boru & Bere Se-Jabotabekdep dan sekitarnya.
SIAPAKAH YANG BERMARGA LUMBANTORUAN?
Yang bermarga Lumbantoruan adalah :
- Pada dasarnya semua orang, lelaki dan wanita, yang mewarisi marga tersebut melalui garis bapaknya.
- Semua perempuan non-Batak yang sudah diberi (diampehon) marga boru Lumbantoruan melalui proses adat atas permintaanya sendiri dan (calon) suaminya. Suaminya adalah bere dari salah satu keluarga Lumbontoruan, atau anak atau keturunanya dari saudara perempuannya.
- Semua lelaki non-Lumbantoruan yang diadopsi oleh salah satu keluarga Lumbantoruan.
BAGAIMANA PEREMPUAN ATAU LELAKI NON-LUMBANTORUAN BISA MENJADI LUMBANTORUAN?
Seperti
dikemukakan di atas sudah makin banyak keluarga Lumbantoruan yang
berdomisili jauh dari daerah asal nenek moyangnya. Dalam situasi yang
demikian perkawinan antar suku, bahkan antar bangsa tak terhindarkan.
Oleh Sebab itu sudah makin banyak pemuda Lumbantoruan yang menikah
dengan perempuan dari suku non-Batak.
Demikian
pula para bere dari Lumbantoruan, yaitu anak atau keturunan dari ibu
(boru) Lumbantoruan. Dalam hal ini banyak bere dari Lumbantoruan, yang
bersama calon isterinya memohon kepada keluarga Lumbantoruan terdekat
untuk memberi (mangampehon) marga kepada sang (calon) isteri tersebut .
Dengan demikian praktis keluarga Lumbontoruan tersebut “harus”
mengadopsi perempuan non-Batak dimaksud menjadi anaknya putrinya atas
restu ketiga unsur marga sesuai dalihan na tolu.
Dengan pemberian marga itu, maka :
- Bere itu mempunyai Hula-hula
- Anaknya mempunyai Tulang
- Cucunya mempunyai Bona Tulang
- Anak cucunya mempuyai Bona ni Ari
Hal yang
sama bisa terjadi pada lelaki non-Lumbantoruan, bisa menyandang marga
Lumbantoruan melalui proses memberi (mangampehon) marga atas permintaan
pihak keluarga (calon) isteri lelaki dari suku non-Batak tersebut. Hanya
memang, peristiwa ini sangat jarang, karena prosedumya lebih ketat dan
memerlukan pertimbangan yang lebih matang. Dengan demikian terjamin hak
dan kewajibannya dalam adat istiadat orang Batak sampai tiga keturunan.